Disini langit tak pernah cerah ataupun mendung dan matahari juga tak pernah nampak.
Orang-orang senantiasa malu menegakkan wajahnya yang tersenyum dan hanya berani mengangkat wajah bertopeng kepalsuan, melengkapi kesuraman tempat ini. Mereka tak berhasrat sebab rasio adalah segalanya, pemandu bagi gerak hidup mereka. Para pelengkap kesuraman ini sebenarnya hanyalah robot-robot fasis yang terus bergerak mengikuti irama dentuman mesin-mesin produksi. Irama pengiring gerak mereka hadir tanpa mengenal ruang dan waktu. Menciptakan harmoni rutinias kehidupan dari bangun ke tidur hingga bangun lagi. Kebosanan atas harmoni ini adalah aib yang membuat mereka yang bosan dianggap pantas untuk dihinakan dan dimusnahkan.


Memang, seolah-olah semuanya bebas bergerak, karena lorong yang menjadi jalur memang cukup luas sehingga kau dapat bergerak kekiri atau kekanan. Tapi, sebagaimana halnya lorong, ada dinding pembatas yang memang tak terlihat sebab di kepala para robot ada sebuah sensor yang akan membelokkan mereka jika ingin menabrak tembok. Karena selalu terhindar dari menabrak tembok maka merekapun tak pernah sadar akan keberadaan dinding yang merupakan batas gerak mereka.
Ditempat ini, tempat dimana kesuraman menjadi warna konstan kehidupan, para robot-robot terus mengais-ngais tanah mencari kepingan kehidupan mereka yang disangka terkubur dengan rapinya di tempat ini. Sebuah kesadaran yang dibangun dari warisan kebohongan para leluhur mereka. Mereka terus mengais-ngais sampai butiran-butiran emas keringat mereka menetes. Sementara mereka terus mengais-ngais, para bajingan ditemani anjing-anjing penjaga menghampiri mereka untuk sekedar mengumpulkan butiran-butiran emas keringat para robot-robot fasis. Secuil dari nilai keringat mereka di kembalikan guna dijadikan biaya tuk mengkonsumsi apa yang mereka produksi dan semua itu tidak lebih dari sekedar jalan agar mereka bisa berkeringat lagi. Kesuraman tempat ini sangatlah sempurna hingga teramat sangat susah membayang masa depan nan indah ditempat ini.

Disini langit tak pernah cerah ataupun mendung dan matahari juga tak pernah nampak.
Di tempat ini konsumsi adalah nyata senyata kepalsuan produksi yang dilakukan oleh para robot-robot. Mereka memproduksi sesuatu yang tak dapat mereka miliki kecuali dengan membelinya. Mereka memproduksi sesuatu yang mereka tak gunakan bahkan yang tak mereka perlukan. Guna bukan lagi nilai karena nilai adalah seberapa banyak uang yang mereka miliki dan seberapa banyak yang mereka mampu bayar untuk sebuah guna yang mereka perlukan. Keheranan akan kendali uang atas segalanya tak mampu terjelaskan atau mungkin tertutupi oleh kebohongan yang diwariskan para leluhur. Disini kau bebas untuk memilih dan bebas pula menyalurkan hasratmu yang tak terbatas, tapi seberapa banyak uang yang kau miliki ? Seberapa banyak yang mampu kau bayar ? Jangan bermimpi tentang kebebasan sebagaimana kebebasan yang sesungguhnya. Kebebasan hanya ada pada konsumsi dan berbicara, hanya konsumsi dan konsumsi, hanya bicara dan bicara.

Mungkin ini dianggap hanyalah imajinasi liar seorang pemimpi. Jika imaji diangap sebaga sebuah senjata maka anggapa itu mungkin ada benarnya tapi jika imaji sekedar sebagai imaji maka anggapan itu salah besar.
Cobalah mengintip dari celah sempit kehidupan hasil retakan peradaban. Celah itu ada di tempat-tempat sampah, di sela-sela kemiskinan hidup para pelajar, ditengah-tengah kepanikan kehidupan para pekerja, diantara rutinitas para pegawai pemerintahan, di bawah alas kaki para politikus dan sistem perpolitikannya, dilarutan muntahan sistem kenegaraan, atau ditengah-tengah keharmonisan palsu keluarga. Dari celah itu kau akan melihat semuanya. Tapi berhati-hatilah, sebab jangankan untuk mengintip dari celah itu, celah itu sendiri sebenarnya tak boleh ada atau terlihat. Atau cobalah untuk tidak tertidur, maka kau akan melihat agen-agen pengontrol para robot-robot fasis itu dan sayup-sayup kau pasti akan mendengar isak tangis entah milik siapa. Tapi, sebagaimana celah itu, terjaga pun tak boleh. Semuanya harus tertidur sebagaimana aturan yang dibuat oleh para agen pengontrol.
Buka matamu lebar-lebar, jangan biarkan dirimu terlelap, lihatlah baik-baik dari celah sempit itu.


Sekarang, apakah semua ini masih kau anggap sekedar imajinasi liar nan kosong seorang pemimpi ?

Posted in Diposting oleh ....

KEMBALI

(8.05.2008)

Ini bukan sekedar kekerasan atau anti kekerasan
Ini bukan sekedar melawan atau tidak melawan
Bukan persoalan moral atau amoral
Ini tentang penghancuran

Sulut kembali sumbu molotov
Pecahkan lagi kaca etalase
Nyalakan kembali api peperangan
Biar semua kembali hangat


Pulanglah kalian semua
Ambil senjata kalian
Kembalilah ...
Dan bersama kita mulai lagi peperangan

Kembali kita berperang
Kembali kita menghancurkan
Kembali kita bergembira
Kembali kita berdansa
Dalam remang-remang cahaya api peperangan

SERANG ... !!!
HANCURKAN ... !!!


Posted in Diposting oleh ....

--C2push--

.........
Ada apa ini ?
Benda bercahaya terang yang kupercaya sebagai matahari tiba-tiba menciut dan terus menciut lalu menghilang. Semuanya menghitam dan keadaan menjadi gelap. Tapi aku tidak buta, aku masih dapat melihat bagian-bagian tubuhku. Akupun masih bisa melihat berkas-berkas putih yang melintas perlahan dan acak di depanku. Keadaan sekelilingku seolah menjadi ruang hampa dengan warna hitam yang sangat kelam menutupi semua sisi.
Oh ... tidak !


Mendadak indra pendengaranku menangkap lolongan pilu anjing malam yang terdengar sayup-sayup menimpali suara serak burung gagak. Entah bagaimana aku merasa burung gagak itu bagai bertengger di daun telingaku. Namun semuanya berlangsung begitu cepat. Suara serak burung gagak dan lolongan anjing malam hilang begitu saja. Keadaan menjadi sunyi senyap. Nyaris tak ada lagi bunyi yang terdengar kecuali detak jantungku sendiri. Kini telingaku bagai berada persis disamping jantungku. Keadaan ini membuat aku merasa takut hingga perlahan-lahan detak jantungku mengencang dan terus mengencang hingga akhirnya bunyi detak jantungku itu berubah menjadi dengungan. Detak jantungku yang berubah menjadi dengungan itu berubah lagi menjadi dengungan jutaan lebah dengan frekuensi yang terus meninggi hingga menjadi suara lengkingan yang sangat tajam. Aku tak sanggup lagi menahan semua ini, matakupun akhirnya terpejam rapat-rapat. Seiring terpejamnya mataku suara lengkingan itu sirna begitu saja dan keadaanpun menjadi sangat tenang. Kedamaian dan kesejukan tiba-tiba memenuhi sekelilingku tapi aku tak berani membuka mata, takut kengerian itu hadir lagi.
Namun aku begitu kaget ketika menyadari bahwa kondisi tubuhku seolah melayang-layang bebas. Akupun langsung mencoba membuka mataku tapi aku tak sanggup karena seberkas cahaya yang sangat menyilaukan membuat mataku mau tidak mau harus dibuka perlahan untuk penyesuai dengan berkas cahaya itu. Setelah mataku terbuka, aku melihat tak ada lagi warna hitam yang semula memenuhi seluruh sisi. Kini yang ada hanyalah warna putih yang teramat putih dimana-mana dengan batasan-batasan sisi yang tidak jelas. Aku cari sumber berkas cahaya yang tadi menyilaukan mataku namun aku tak menemukan apa-apa. Rupanya yang menyilaukanku tadi hanyalah warna putih yang memenuhi seluruh sisi. Mungkin tadi hanya mataku yang tidak mampu menerima perubahan yang begitu kontras dari warna hitam yang sangat kelam menjadi putih yang teramat putih.
Apa sebenarnya yang terjadi ?
Aku lihat tepat dibawahku sesosok tubuh melayang. Posisinya bagai orang yang tertidur pulas. Aku mencoba mengamatinya dengan seksama namun tiba-tiba aku merasa seperti ditarik keatas oleh sebuah kekuatan yang sangat besar. Aku terus terangkat namun mataku masih tertuju pada sesosok tubuh itu. Entah seberapa tinggi, tiba-tiba kekuatan yang semula menarikku ke atas tiba-tiba menghempaskanku ke bawah. Akupun meluncur ke bawah dengan sangat cepat. Namun ketika aku tepat berada disamping sosok tubuh itu gerakanku terhenti. Pemberhentianku itu sangat singkat, hanya sepersekian detik. Tapi diwaktu sepersekian detik itu aku sempat melihat wajah sesosok tubuh itu. Betapa kagetnya aku ketika menyadari bahwa ternyata wajah itu adalah wajahku. Aku bertambah kaget ketika tiba-tiba kedua mata wajah itu membuka dan menatap sayu padaku lalu sebuah senyuman tipis namun sinis terlukis dibibirnya. Rasa kagetku belum sempat hilang dan akupun belum sempat menyadari apa sebenarnya yang terjadi, tiba-tiba tubuhku kembali meluncur kebawah dengan kecepat yang lebih cepat. Rasa kaget yang bertubi-tubi itu membuatku berteriak histeris. Mendadak rasa takut kembali muncul. Akupun menutup rapat-rapat mataku mencoba menolak apa yang aku alami.
Dengan mata tertutup dan teriakan histeris yang sangat, tubuhku terus meluncur kebawah dengan sangat cepat. Tiba-tiba gerakan meluncur itu terhenti dengan didahulu perasaan seolah diriku masuk kedalam sebuah medium yang sangat sempit namun lentur dan lembut. Teriakan histeriskupun berubah menjadi tangisan tersedu-sedu dan akhirnya berubah menjadi tangisan lepas seorang anak bayi.
Aku tak tahu apa yang terjadi dan akupun sangat takut untuk membuka kedua kelopak mataku.
Oooh ......... tidaaaaaaaaak !!!

Posted in Diposting oleh ....

Semua Karena Cinta

(6.25.2008)

Dibukanya pagar lalu ia melangkah masuk. Terlihat ia kepayahan melangkahkan kaki seolah tak ada lagi tenaga yang tersisa. Walau dengan susah payah, akhirnya ia pun sampai didepan pintu.
Bayangan masa lalu kehidupannya entah mengapa terlintas begitu saja.
Seorang wanita yang telah menjadi ibu dari dari anak-anaknya membukakan pintu sambil menggendong anak bungsunya yang masih balita. Tak lama berselang seorang anak berumur 5 tahun muncul dari samping kanan wanita itu dan langsung berlari menujunya lalu memeluknya.
Itulah masa lalu yang tiba-tiba terbayang didepan matanya ketika berhadapan dengan pintu rumah.
Itu semua tak mungkin terjadi malam ini karena sekarang pukul 23 lewat 5 menit sebagaimana yang ditunjukkan oleh jam tangan berlapis emas putih yang melingkar dipergelangan tangannya yang sempat diliriknya. Diwaktu yang mendekati tengah malam, orang pasti telah tertidur termasuk kedua anak dan istrinya.
Menyadari hari telah larut malam ia pun membatalkan niatnya mengetuk pintu.
Dirogohnya kantong kiri depan celananya lalu dimengeluarkan sebuah anak kunci dan dimasukkannya kedalam lubang kunci pada pintu. Saat anak kunci diputar dan pembuka kunci mulai bekerja terdengar suara besi saling berbenturan. Sebenarnya ia telah berusaha sebisa mungkin agar tak ada suara yang dihasilkan saat membuka kunci pintu rumahnya. Semua itu diupayakan agar tak mengganggu kedua anak dan istrinya yang pasti telah bermain-main dalam taman mimpi. Namun apa daya, bunyi itu tak dapat dicegahnya.
Bunyi yang sebenarnya sangat halus itu terdengar keras dalam suasana yang sangat tenang dan itu membuat ia berhenti sejenak sebelum akhirnya ia memutar gagang pintu hingga pintu terbuka.
Langkahnya hanya sampai diruang tamu lalu diletakkannya tas kerja yang cukup besar dan setumpuk kertas pekerjaan kantor yang tak sempat diselesaikannya diatas meja tamu berbentuk oval yang kaki-kakinya berukiran unik khas suku dayak yang dikombinasikan dengan bentuk-bentuk ukiran jepara. Ia kemudian melngkah kembali keteras depan rumah. Entah mengapa ia tidak ingin langsung masuk kekamar tidur untuk segera beristrirahat atau kedapur untuk sekedar mencari sesuatu yang dapat menghentikan rasa laparnya.
Sampai diteras rumah ia memilih duduk diatas sebuah sofa. Ada kenyamanan yang tak lengkap yang dirasakan ketika ia duduk disofa itu namun ia tak tahu.
Kedua lenganya kemudian ia jadikan sanggahan kepalanya. Ditatapnya plafon diteras rumahnya yang berhias lampu pijar 5 watt.
Akibat kelelahan yang sangat ia memejamkan matanya berharap itu dapat mengobati. 1, 2, 3, 4, dan 5 menit berlalu dalam posisinya yang tidak berubah. Ia tertidur dalam 5 menit itu akibat angin malam yang berhembus membelainya bercampur dengan lapar dan kelelahan yang dirasakannya.


Dalam tidurnya yang singkat itu ia sempat bermimpi berada diteras rumah yang sama namun bukan malam tapi sore hari yang cerah. Diteras itu ia melihat kedua anaknya sedang bermain dan tertawa riang tepat dihadapannya. Ia kemudian melirik kesamping kanan dan dilihatnya seorang wanita sedang menuangkan kopi hangat ke sebuah cangkir. ia perhatikan dengan seksama wajah wanita itu yang seang tersenyum manis dan disadarinya bahwa ternyata itu istrinya.
Tapi itu tidak berlangsung lama.
Tiba-tiba teko berisi kopi ditangan istrinya pecah begitupun cangkir yang sebelumnya telah diisi dengan kopi hangat dan kemudian membuat istrinya menangis pilu. Perubahan itu membuat ia tersentak, lalu ia pun memalingkan pandangannya ke temapt dimana ia sebelumnya melihat kedua nakanya bermain dengan riang gembira. Namun yang ada bukan lagi dua anak kecil yang bermain dengan riang gembira melainkan dua anak kecil yang menagis tersedu-sedu dan sangat pilu. Ia menjadi panik dan kembali memalingkan perhatian ke istrinya. Ternyata istrinya masih menangis pilu dan tumpahan kopi dari teko dan angkir yang pecah perlahan dilihatnya merembes keseluruh bagian teras dan terus merembes sampai keseluruh bagian rumah. Mengubah seluruh warna dirumah itu menjadi hitam pekat termasuk istri dan kedua anaknya yang telah berubah menjadi patung marmer berwarna hitam.
Ia sangat ketakutan dan itu membutanya tersadar dari mimpinya .


Bersambung ...

Posted in Diposting oleh ....



Sebuah Cerita Yang Sangat Menyen##h

Inilah kondisi yang aku tidak sukai setelah membaca karya sastra yang sangat bagus, kondisi dimana untuk beberapa saat aku mejadi malas untuk membaca.
Aku baru saya membaca sebuah cerpen karya Leo Tolstoy yang dalam versi bahasa indoensia berjudul “Bapa Sergius”. Sepintas cerpen ini terlihat hanya bercerita seputar perjalanan hidup Bapa Sergius dari seorang panglima pasukan kerajaan menjadi seorang pesiarah dan akhirnya meninggal disebuah desa ditengah-tengah keluarga petani yang dibantunya. Cerita inipun mirip dengan cerita hidup seorang sufi dalam khasanah islam. Menurut salah seorang teman, cerita ini mirip dengan cerita perjalanan hidup Tolstoy sendiri tapi terlepas dari itu semua, cerpen Bapa Sergius bagiku adalah sebuah cerita yang sangat menyentuh (meski bagian awalnya sedikit membosankan -khas Tolstoy yang bergaya klasik- tapi pada bagian akhirnya aku ingin menangis ketika membacanya**).


Cerpen Bapa Sergius semakin memperkuat anggapanku atas Tolstoy sebagai seorang anarcho-religius dan seorang pasifis (kesukaanku pada Tolstoy jangan membuat anggapan bahwa akupun suka Gandhi. Aku tak senang pada Gadhi sebab aku tidak pernah membaca karya sastranya dan dia terlalu populer meski aku tidak yakin apakah Gandhi senang dengan kepopulerannya). Salah seorang temanku yang lain menganggap Tolstoy sebagai seorang yang tetap menerima konsep hirarki tapi bagiku itu bukan soal sebab bukankah hal tersebut memang merupakan sesuatu yang kerap ada dalam anarcho-religius tapi menurutku konsep hirarki dalam anarcho-religius berbeda dari konsep hirarki pada umumnya (mungkin sama dengan perbedaan konsep demokrasi dalam anarchy dengan konsep demokrasi pada umumnya) karena itu mesti dikaji lebih dalam.
Karya-karya Tolstoy memang sangat menyentuh sampai-sampai seorang lenin yang otoriter sempat berkata “kalian harus membaca karya-karya Tolstoy !” pada siswa-siswa dalam sebuah kunjungan (mudah-mudahan ini bukan topeng manis dari seorang politikus yang lagi menarik simpati orang-orang) bahkan menurut gosip (yang belum jelas) disaat-saat menjelang kematiannya lenin meminta dibacakan sebuah karya Tolstoy (harusnya kawan-kawan yang sangat memuja lenin juga membaca karya-karya Tolstoy -oi...baca sastra donk biar nggak garing, biar tidak jadi robot-robot revolusi yang tak berhasrat).

Kok tulisan ini jadi tidak mirip resensi buku ?#@**()#%^
2 paragraf terakhir kok jadi ngawur *&(*&^%@@##$%%, sudahlah...yang jelas cerpen “Bapa Sergius” karya Tolstoy layak menjadi sebuah bacaan pengganti cerita basi ayat-ayat cinta dan cerita-cerita sejenis yang membuatku mual dan ingin kencing.


* Aku membaca cerpen “Bapa Sergius” versi bahasa indoensia dalam kumpulan cerpen “Setelah Pesta
Dansa” karya Leo Tolstoy yang diterbitkan oleh Penerbit Progress (ini informasi bukan iklan).
** terpaksa aku jujur untuk memberi kesan bahwa cerita ini memang sangat bagus bagiku.

Posted in Diposting oleh ....

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan/dituduh subversif dan mengganggu keamanan/maka hanya ada satu kata: lawan!
Dalam membaca karya sastra, khususnya puisi. Mayoritas penikmat sastra mendambakan dari hasil bacaannya terkecap keindahan. Teresapi pendar-pendar aroma estetika. Oleh karena itu, banyak penyair berusaha menuangkan harmoni kata yang indah dalam setiap karya puisi mereka. Dalam puisi kita mengenal stigma yang dipakai oleh banyak orang bahwa memuat berbagai kata imajinatif merupakan syarat mutlak dalam puisi. Namun hal ini tidak berlaku oleh beberapa penyair yang menjadikan karya sastra sebagai medium perlawanan terhadap realitas yang timpang. Mereka merasa cukup dengan bahasa yang sederhana. Kata-kata diupayakan menciptakan keutuhan sajak. Lihat saja penggalan puisi dari Wiji Thukul di atas yang berjudul ”Peringatan” (1986). Sebuah jenis puisi dimana fakta, pengalaman atau memori intim seorang penyair diungkapkan apa adanya dalam kesederhanaan bahasa leksikan-gramatikal sehari-hari yang lugas dan tidak rumit. Jenis puisi atau sajak semacam ini oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri dinamakan sebagai ”sajak terang”. Sebab maksud dari puisi tersebut sangat transparan dan nyata.

Puisi Wiji Thukul disini hanyalah contoh kecil dari sebuah karya sastra yang tercipta dari kesadaran menjadikan seni sebagai media perjuangan terhadap kesewenang-wenangan. Wiji Thukul pernah memenangkan penghargaan Werdheim, sebuah anugerah bergengsi untuk karya-karya kemanusiaan. Puisi-puisinya memperoleh pujian, meski ia mengatakan tak pernah menulis puisi untuk menang perlombaan. ”Meski para seniman masih memperdebatkan hubungan halal atau haram antara seni dan politik, tapi kami memutuskan untuk hidup dan berkesenian di tengah perlawanan rakyat yang kehilangan hak-haknya di masa Soeharto”. Ungkapnya, ketika ditanyakan alasan yang mendasari lahirnya puisi-puisi yang ditulisnya.

Berjuang Lewat Sastra

Seno Gumira pernah mengatakan “Ketika Jurnalisme di bungkam, Sastra Harus Mengungkapkan Kebenaran.”. Benarkah sastra memiliki tugas suci seperti itu ? Bisa jadi benar. Malah Mohamad Sobary menilai sastrawan adalah da’i yang baik. Sastrawan di matanya (seharusnya) mampu mengiklankan keluhuran Tuhan dan segenap Nabi-nabi-Nya serta para pendukung nilai luhur lainnya, sehingga keluhuran tersosialisasi dengan baik di masyarakat. Manusia dituntut untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’aruf itu memanusiakan manusia, sedangkan nahi munkar itu pembebasan, dan beriman kepada Tuhan itu transendental. Dalam konteks kesusastraan Indonesia, sastra religius menggenapi isu sastra yang ada. Sastra religius mengambil tema-tema keagamaan yang variasinya amat banyak. Menurut Kuntowijiyo, sesungguhnya semua sastra punya bobot religiusitas, asal dilihat dari pandangan teologis dan metafisis.


Kuntowijoyo menggagas jenis genre baru dalam sastra dan menyebutnya sebagai sastra profetik. Sastra yang menurutnya melanjutkan tradisi kerasulan. Sebab agama dihadirkan untuk membangun peradaban ummat manusia yang berwatak profetik. Dalam artian agama datang untuk mengubah secara radikal tatanan sosial kultural mapan yang opressif, yang membuat manusia terbelenggu, saling melindas dan tak jelas arah sejarahnya. Sehingga ummat manusia mencapai tingkat teratas peradabannya sebagai makhluk yang berakal dan berbudi.

Sastra profetik, menurut penulis mesti dikembangkan oleh kalangan pemerhati dan penikmat sastra generasi saat ini. Kuntowijoyo, Wiji Thukul, W.S Rendra dan beberapa penyair lainnya dengan sastra profetiknya telah menanamkan dan memperkaya cakrawala sastra religius yang lebih membawa pencerahan dan tidak melulu lebih sibuk mengurus hablumminallah (melangit) dan mengabaikan hablumminannas (membumi). Dan, sastra profetik lebih jelas kualitasnya dan kekuatan moralnya daripada sastra yang melulu membincang seks.

Lewat sastra profetik, penyair dapat mensosialisasikan penyataan sikapnya. Sikap perlawanan terhadap setiap penindasan yang menginjak-injak kemanusiaan, pemberontakan kultural terhadap setiap ketidakadilan, perjuangan untuk mewujudkan nilai-nilai sejati yang telah lama mati, penyadaran manusia Indonesia yang mengalami situasi acak (chaos) yang cukup akut sehingga terbatah-batah untuk menjelaskan diri sendiri. Penyair-penyair profetik tidak menulis puisi dari ilusi-ilusi fantasianisme, atau dari dunia bawah sadar. Sebaliknya mereka menulis puisi dengan berakar pada persoalan sehari-hari, persoalan yang ada di depan matanya. Mereka menuliskan puisi dengan penuh kesadaran, kesadaran akan adanya penindasan, akan adanya struktur-struktur riil ketidakadilan, akan adanya epikolonialisme.
Mereka bertindak sebagai ”penyaksi” yang berhadapan dengan cermin realitas yang bobrok. Dan, Thukul adalah salah seorangnya. Sajak-sajaknya terkesan sederhana, diksi-diksi yang dipakai sangat biasa, bahkan lumrah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Lewat kata-kata yang umumnya kita jumpai, Thukul seperti mencoba untuk menarik sebuah busur yang baru, dengan memosisikan dirinya sebagai yang terlibat di dalam (insider). Puisi-puisi yang ditulisnya menampakkan wajah protes yang meluap, pertanyaan-pertanyaan satire, mengapa dalam peristiwa politik kehidupan bernegara rakyat kecil yang melulu menjadi korban. Melalui puisi ia berjuang, sekadar melakukan ”penggugatan”. Dan perjuangan Thukul tidak hanya sebatas diksi dalam puisi, melainkan juga melebar dalam kegiatan nyata, di mana ia juga bergabung dalam sebuah gerakan yang memperjuangkan kebebasan orang-orang sipil bersama mahasiswa.

Dari sini benarlah apa yang pernah dikatakan H.B.Jassin. Semestinya sastra menempatkan posisi sebagai penyaksi zaman dengan prinsip humanisme universal-nya. Bangsa saat ini butuh sastrawan yang tidak asyik sendiri, tetapi mampu mencipta karya yang menghargai kualitas dan mempertinggi harkat hidup kemanusiaan. Meskipun sejarah mencatat, mereka yang melakukannya, terkadang harus mengecap penderitaan. Kita tahu bagaimana Rendra sempat tinggal di balik jeruji, dan dilarang untuk membaca puisinya. Bahkan Wiji Thukul telah menjadi korban kebengisan orde yang paranoid terhadap karya sastra. Tukul dinyatakan hilang 27 Juli 1996 dan belum diketahui riwayatnya hingga kini. Membaca kisah Tukul, mengingatkan saya pada seorang penyair Bulgaria yang mati dieksekusi di muka regu tembak rezim fasis negerinya. Penyair ini bernama Nikolai Vaptsarov. Ia mati muda dalam usia 32 tahun. Vaptsarov seorang pejuang bagi rakyatnya, sama seperti Wiji Thukul. Tapi, jarang ada yang tahu bahwa mereka berjuang dan melawan bermula lewat bait-bait sajaknya. Sebuah sastra profetik.
Salam Perlawanan !!!
Ismail Amin

Posted in Diposting oleh ....

Apa artinya demokrasi, bila kemiskinan hanya sekedar tanda yang musti terus dimaklumi, memenuhi baris-baris redaksi di koran pagi, atau semacam hidangan pahit saat minum kopi? Cemas yang bisu, sepotong langit terlihat di luar jendela kamarku. Lalu sebuah pena, catatan aksi massa, biografi Tan Malaka, agenda yang telah kehilangan semangatnya, juga teriakan putus asa: "Aku tak ingin mencari kerja!"
Siapa yang peduli. Wow, ada anak perempuan diperkosa polisi. Kebenaran adalah boklam 15 watt di kamar mandi. Jam mati. Realitas jadi sekeras batu dan tameng-tameng besi. Huru-hara lagi. Wakil rakyat sibuk menghitung kekuatan untuk menjatuhkan dirinya sendiri. Hopla! Spiral kekerasan Holder Camara kini terbukti.
Aku makin merasa tak bisa percaya. Aku makin merasa ada yang salah dalam struktur pahit keadilan dunia. Aku makin merasa kehilangan daya pikir. Aku melihat permainan politik yang mubazir. Aku makin melihat dunia menuju kegilaan yang nyata.
Siapa yang peduli. Di negeri ini demokrasi adalah satu bentuk legitimasi untuk menindas para petani. Cukai rokok naik lagi. Tak ada pajak untuk hati nurani. Huuuuaaaah! Gerah benar pagi ini. Ada VOC merindukan padi. Ekstase pestisida! Selamat jalan ideologi. Berapa sih harga cinta? Guru-guru aksi minta kenaikan gaji. Murid-murid sibuk berkelahi. Pendidikan: bunuh diri!
Aku memeluk istriku. Selamat pagi, sayangku. Maaf, tak ada uang belanja untukmu. Tapi di halaman belakang rumah, ada sayur kangkung dan belatung, itu baik buat kandunganmu. Dan jendela kamar itu makin menampilkan langit dengan warna yang sama: merah, merah menyala, merah kaum yang terhina, merah bumi jajahan, merah perlawanan!
Apa artinya demokrasi, jika semua sumber daya yang kami miliki, akhirnya ngendon ke bank-bank Amerika, juga konco-konco IMF-nya: lalu kami yang terhutang sampai tujuh turunan, harus menanggung rente dan ampas kewajiban?




Posted in Diposting oleh ....

hey world

Posted in Diposting oleh ....

 
wake up before too late.//edited by zukozen